"Coba buka mulutnya, aaaaaaa, aku periksa dulu ya pakai senter nih. Nah terus, sini aku dengerin bunyi deg deg deg nya pakai soskop (baca : stetoskop)"
Bermain adalah belajar bagi anak, karena melalui bermain, anak
dapat meningkatkan kemampuannya dan mengembangkan dirinya (Marzollo &
Lloyd, n.d; Tedjasaputra, 2003). Salah satu aspek yang dapat meningkat dan
berkembang melalui bermain adalah aspek kognisi. Menurut Tedjasaputra
(2003), aspek kognisi diartikan sebagai pengetahuan yang luas, daya nalar,
kreativitas (daya cipta), kemampuan berbahasa, serta daya ingat. Bermain,
khususnya pada anak prasekolah, menambah konsep dasar yang dapat dipelajari, misalnya warna,
ukuran, bentuk, arah,
besaran sebagai landasan untuk belajar menulis, bahasa, matematika, dan ilmu
pengetahuan lain.
Menurut Piaget (1962) dalam Tedjasaputra
(2003), di usia prasekolah (sekitar 2 hingga 7 tahun) di mana anak berada di
tahap perkembangan kognitif pre-operasional, tahapan bermain yang menjadi ciri
di usia tersebut adalah symbolic atau
make believe play (bermain khayal dan
bermain pura-pura). Pada masa ini anak juga lebih banyak bertanya dan menjawab
pertanyaan, mencoba berbagai hal berkaitan dengan konsep angka, ruang, kuantitas,
dan sebagainya. Kegiatan bermain simbolik ini akan semakin bersifat konstruktif
dalam arti lebih mendekati kenyataan, merupakan latihan berarti berpikir serta
mengarahkan anak untuk menyesuaikan diri terhadap lingkungannya (Tedjasaputra,
2003). Hal ini berkaitan dengan menurut Vygotsky (n.d) dalam Tedjasaputra
(2003) bahwa salah satu manfaat bermain bagi perkembangan anak adalah untuk
memajukan berpikir abstrak dan pengaturan diri.
Kegiatan bermain khayal menurut Tedjasaputra
(2003) dapat bersifat produktif, di mana anak memasukkan unsur-unsur baru
terhadap apa yang ia amati sehari-hari, atau bersifat reproduktif, dimana anak
melakukan pengulangan dari situasi yang diamati anak sehari-hari.