Kamis, 18 September 2014

"Aku jadi dokternya, kamu jadi pasiennya yaa"

"Coba buka mulutnya, aaaaaaa, aku periksa dulu ya pakai senter nih. Nah terus, sini aku dengerin bunyi deg deg deg nya pakai soskop (baca : stetoskop)"




Bermain adalah belajar bagi anak, karena melalui bermain, anak dapat meningkatkan kemampuannya dan mengembangkan dirinya (Marzollo & Lloyd, n.d; Tedjasaputra, 2003). Salah satu aspek yang dapat meningkat dan berkembang melalui bermain adalah aspek kognisi. Menurut Tedjasaputra (2003), aspek kognisi diartikan sebagai pengetahuan yang luas, daya nalar, kreativitas (daya cipta), kemampuan berbahasa, serta daya ingat. Bermain, khususnya pada anak prasekolah, menambah konsep dasar yang dapat dipelajari, misalnya warna, ukuran, bentuk, arah, besaran sebagai landasan untuk belajar menulis, bahasa, matematika, dan ilmu pengetahuan lain.
Menurut Piaget (1962) dalam Tedjasaputra (2003), di usia prasekolah (sekitar 2 hingga 7 tahun) di mana anak berada di tahap perkembangan kognitif pre-operasional, tahapan bermain yang menjadi ciri di usia tersebut adalah symbolic atau make believe play (bermain khayal dan bermain pura-pura). Pada masa ini anak juga lebih banyak bertanya dan menjawab pertanyaan, mencoba berbagai hal berkaitan dengan konsep angka, ruang, kuantitas, dan sebagainya. Kegiatan bermain simbolik ini akan semakin bersifat konstruktif dalam arti lebih mendekati kenyataan, merupakan latihan berarti berpikir serta mengarahkan anak untuk menyesuaikan diri terhadap lingkungannya (Tedjasaputra, 2003). Hal ini berkaitan dengan menurut Vygotsky (n.d) dalam Tedjasaputra (2003) bahwa salah satu manfaat bermain bagi perkembangan anak adalah untuk memajukan berpikir abstrak dan pengaturan diri.

Kegiatan bermain khayal menurut Tedjasaputra (2003) dapat bersifat produktif, di mana anak memasukkan unsur-unsur baru terhadap apa yang ia amati sehari-hari, atau bersifat reproduktif, dimana anak melakukan pengulangan dari situasi yang diamati anak sehari-hari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar